Tags

, , , ,

Hup.. saya melompat dari kapal ke sebuah kayu yang memang sengaja dibuat bagai sebuah jembatan kecil. Kami semua berjalan bagai sedang berbaris dengan jarak yang berbeda-beda sesuai ketahanan nafas kami.

“Sudah sampai?” seseorang bertanya.

“Dikit lagi, ayo sudah terlihat tuh..” teriak yang lain menyemangati.

Kami sedang mendaki sebuah bukit di sebuah daerah bernama Dapunlol. “Seperti Wayag, tapi lebih bagus.. jauh lebih bagus.” jelas Pak Harun, ternyata beliau yang menemukan bukit ini.. bahkan bersama anak dan beberapa pekerja, sudah dibuat jalur untuk mendaki. Tangga-tangga kayu pun tersedia untuk mempermudah pendakian. Bukit ini pun telah mereka beri nama. Harfat Jaya Dapunlol.

Beberapa orang terlihat berhenti. “Wah, sudah sampai?” kali ini saya yang bertanya. Ternyata katanya baru sampai ‘lehernya’ saja. Waduh, masih jauh dong kalau sampai kepala. HAHA! ternyata benar saja.. setelah beberapa lama mendaki, pertanyaan kedua saya dijawab, “ini sih, baru sampai ‘telinganya’ tapi sebentar lagi sampai.”

Barisan hijau dari atas bukit.

Barisan hijau dari atas bukit.

Saya yang hanya memakai sandal jepit saja, akhirnya melepaskannya ditengah perjalanan karena licin dan mulai melanjutkan pendakian dengan kaki telanjang. Tak terasa, permukaan yang tadinya tanah mulai terasa ada beberapa batu tajam.. akhirnya saya pakai kembali sandal jepitnya dan tak lama terdengar teriakan, “Whoaaaaaaa.. sudah sampai nih.. gilaaaa!” — saya tersenyum lebar saat menginjakkan kaki diatas bukit.

Memang.

Pemandangannya..

GILA!

Terlihat puluhan barisan bukit-bukit mengelilingi. Warna biru tua, biru muda, hijau tua dan hijau muda nya terpadu indah bersama langit yang cerah hari itu.

Dibandingkan dengan Wayag di Raja Ampat bagian utara? Hmm.. Saya memilih untuk tidak membandingkan. Keduanya mempunyai karakteristik, dan untuk saya.. kenangannya masing-masing. :)

Terima kasih, semesta!

Cheers!

– kar